Optimisme Fintech dan Industri Keuangan Syariah di Era Digital

Program Studi Manajemen Keuangan Syariah (MKS) FEBI UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan acara rutin tahunan Kuliah Umum dengan mengusung tema “Fintech dan Industri Keuangan Syariah”. Pemilihan tema ini karena era digital sedang menjadi tren terbaru dalam industri keuangan yaitu dengan hadirnya financial technology (Fintech). Lebih lanjut tren Fintech ini ternyata menyisakan pertanyaan besar, apakah kelahiran dan menjamurnya perusahaan start up keuangan dapat bersinergi dan meningkatkan pertumbuhan industri keuangan syariah atau justru sebaliknya mengancam dan menghambat eksistensi satu sama lain. Melalui kuliah umum ini diharapkan mahasiswa mendapatkan jawaban, penjelasan, wawasan dan pemahaman secara holistik tentang arah, tantangan dan peluang Fintech di Indonesia.

Kuliah umum dilaksanakan pada Rabu, (12/09) bertempat di Convention Hall Lt. 2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang diikuti oleh pimpinan, dosen dan mahasiswa Prodi Manajemen Keuangan Syariah FEBI UIN Sunan Kalijaga. Pembacaan ayat suci Al-Quran serta menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Hymne UIN Sunan Kalijaga menjadi sederetan rangkaian dan ritual acara yang bertujuan menumbuhkan nilai-nilai spiritualisme, nasionalisme dan institusionalisme. Berbeda dengan penyelenggaraan kuliah umum sebelumnya, acara ini dikemas unik dengan konsep “kuliah online” dengan memanfaatkan media sosial yang sedang berkembang saat ini. Dengan kata lain, siapapun dan dimanapun pesertanya dapat mengakses dan mengikuti kuliah umum secara virtual melalui live streaming dengan mengakses Instagram Himpunan Mahasiswa Program Studi MKS tanpa harus bertatap muka dengan para pembicara.

Lewat sambutannya, Yazid Afandi, M. Ag. Selaku Kaprodi MKS menegaskan bahwa isu yang diangkat kali ini merupakan isu up to date yang memang harus dipahami dan dikuasai oleh mahasiswa Prodi MKS. Melalui acara ini beliau menginginkan mahasiswa dapat memetik manfaat dan memperoleh inspirasi untuk mendongkrak laju layanan keuangan syariah di tengah era digital dan revolusi industri 4.0.

“Perlu adanya kreatifitas dari para lembaga atau pelaku keuangan syariah untuk melahirkan produk yang dapat diterima, benar-benar dibutuhkan, mudah dan aman dalam bertransaksi serta yang paling utama harus sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai syariah”, ungkapnya.

Beliau optimis, dengan langkah ini akan membuat lembaga keuangan syariah dapat bersaing secara sehat dan kompetitif dan terus berkembang pesat melewati gelombang krisis keuangan yang kian lama menggrogoti stabilitas perekonomian nasional.

Kuliah umum ini menghadirkan dua pembicara kompeten di bidang ekonomi dan keuangan. Pembicara pertama adalah Bhima Yudistira Adinegara, salah seorang peneliti dari Institute for Developmnet Economics and Finance (INDEF). Akhir-akhir ini wajahnya sering menghiasai layar kaca televisi nusantara, memberikan beberapa pandangan dan solusi atas gejolak ekonomi yang sedang menerpa Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa perkembangan industri Fintech ini tidak terlepas dari dukungan penggunaan smartphone aktif yang jumlahnya mencapai 67% dari total populasi penduduk Indonesia. Selain itu, pertumbuhan Fintech nyatanya sejalan dengan pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Beliau juga mengungkapkan tantangan sekaligus peluang para perusahaan Fintech start up bahwa masih banyak daerah-daerah di Indonesia belum merasakan kelebihan dan manfaat fasilitas Fintech. Cukup mencengangkan, kehadiran generasi milennial ternyata memberikan arti tersendiri bagi eksistensi dan keberlanjutan Fintech. Beliau mencontohkan perusahaan start up Fintech bernama Amarta, salah satu fintech syariah yang tidak dibumbui dengan label syariah namun diterima oleh masyarakat luas. Akhirnya, beliau menyimpulkan dari hasil penelitian yang dilakukan INDEF ditemukan fakta bahwa Fintech membawa pengaruh positif dan negatif bagi perekonomian nasional. Hal positif inilah yang harus selalu didukung, dikembangkan dan disempurnakan untuk dapat meningkatkan kepuasan para pengguna layanan. Di sisi lain, hal negatif yang lahir dari Fintech ini menjadi catatan penting untuk kembali dievaluasi, dikaji, diperbaiki dan diuji agar perkembangan fintech dapat terus mendukung Indonesia dalam Digital Economy.

Pembicara kedua adalah Abdul Qoyum, S. E. I., M. Sc., Fin., Dosen FEBI UIN Sunan Kalijaga yang aktif dan sangat produktif melahirkan tulisan-tulisan ilmiah di Bidang Ekonomi dan Keuangan Syariah. Beliau menyampaikan keprihatinannya karena Indonesia dengan mayoritas penduduk Islam terbesar di dunia masih berada di bawah negara-negara lain dalam hal pertumbuhan dan perkembangan market share dari Islamic banking. Menurut pendapatnya, Fintech adalah salah inovasi teknologi layanan keuangan digital yang diperbolehkan dalam Islam karena membawa manfaat dan maslahah yang begitu besar bagi umat. Beliau juga meyakini bahwa kehadiran Fintech ini menjadi solusi alternatif terciptanya transaksi keuangan syariah yang lebih mudah, cepat dan efisien. Selain itu, cepat atau lambat dengan potensi dan kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia berpeluang emas menjadi pusat industri halal dunia yang akan mempromosikan halal food, halal fashion dan halal tourism untuk menuju Global Islamic Economy, tegas beliau sebelum mengakhiri materinya.

Bertindak sebagai moderator dalam acara kuliah umum ini, Izra Berakon, M.Sc., dan Syintia Dwi Utami menguraikan setidaknya terdapat lima bentuk atau model perusahaan strat up Fintech yang telah berjalan di Indonesia seperti Crowdfunding (kitabisa.com), Microfinacing (indves.com), P2P Lending (uangteman.com), Market Comparison (finansialku.com) dan Digital Payment System (Doku). Sebagai penutup dari acara Kuliah Umum ini, beliau menyimpulkan sekaligus menjawab pertanyaan yang mengemuka sebelumnya bahwa kehadiran Fintech dalam Industri Keuangan Syariah bukan sebagai barang substitusi yang saling mengancam posisi dan keududukan masing-masing melainkan kehadiran Fintech menyerupai barang komplementer yang saling bersinergi dan saling melengkapi satu sama lain. (IB/SDU/AN)

Materi dapat di download si dan di